Kamis, 21 Agustus 2008

Geulayang Lon Manyang


Teks : Arif Surahman

Foto  : Abdul Kadir Jailani

Pada hamparan sawah kering di Lampermai Cot Irie, sebuah tradisi lama terekam. Geulayang itu dilepas, lalu terbang mencari lawan, menentukan juara. 

Penarik layang-layang sudah bersiap, siaga satu. Tangan mereka terjulur memegang ujung benang yang terentang dari layang-layang. Geulayang Tunang, sebuah tradisi lomba layang-layang akan dimulai, seorang juri memberi aba-aba. “Tempoe buet ka dimulai!” Teriak juri dari pengeras suara. 


Tempoe buet adalah aba-aba untuk menaikkan layang-layang. Juri memberikan limit waktu selama 10 menit untuk tahap ini. 

Geulayang melesat terbang, angin yang berhembus kencang tidak sulit bagi layang-layang beradu cepat melesat ke udara. Ada 28 layang yang melenggang-lenggok ke kiri dan ke kanan. Menghias langit yang mulai mendung pada Jumat sore, 25 Juli 2008 di Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.  

Hari itu hanya 28 layang peserta pada Geulayang Tunang. Setiap satu layang-layang ditangani oleh tiga hingga lima orang, mereka melakukan kerja secara tim dengan baik untuk menerbangkan geulayang. Tidak sampai 10 menit, semua layang-layang telah mengudara, namun juri tetap menunggu sisa empat menit sebelum melanjutkan tahap mengulur benang. Untuk tahap ini, tempo yang diberikan juga 10 menit. 

Berpacu mengulur benang adalah tahapan paling seru. Layang yang lebih ringan mudah menarik benang. Benang yang lepas menimbulkan bunyi berdesing. Seorang membantu menjaga kumparan benang agar tak tersangkut, yang lain memegang kumparan yang terbuat dari kayu. Pengendali menjaga layang-layang agar tidak menyelip dan bertabrakan dengan layang-layang lain. 

Akhir dari tahapan yang harus dilalui adalah tempoe cok pleh untuk menentukan pemenang oleh panitia. Juri akan memberi perintah kepada semua peserta untuk menuju tempat penganjungan. Mereka berjalan sepanjang bidang sawah, ke sebuah garis yang dibuat dari rentangan seutas tali. Limit waktu untuk tahap ini adalah tiga menit.

Di sinilah, tahap penentuan dilakukan. Setelah semua peserta berkumpul berjejer mengikuti garis tali, juri mulai menghitung melalui pengeras suara. Tiga orang juri mengamati ke layang-layang di langit itu dengan seksama. Bukan pekerjaan yang mudah. Karena di ketinggian sekitar 900 meter, layang-layang itu seperti sama saja tingginya. 

***
Geulayang adalah sebuah hobby yang berawal dari tradisi lama, semenjak Aceh masih dipimpin raja-raja. Sore itu juga untuk hiburan, bukan ajang taruhan. 

Nazar, seorang peserta menyebut itu hanya menyalurkan sebuah hobby, sama seperti pemain bola ikut turnamen. “Saya memang suka bermain layang-layang, jadi ini hanya hiburan. Acara seperti ini sudah sering sekali di tempat kami,” sebutnya. 

M Jamil, Panitia sekaligus salah seorang juri menyebut, untuk menambah semangat peserta, yang menang diberikan hadiah berupa rokok. Untuk membeli hadiah itu, peserta yang ikut lomba diwajibkan mendaftar sejumlah uang. “Ini hanya untuk hiburan bagi warga,” sebutnya. Bahkan bisa membina hubungan kekeluargaan antar sesama. 

Jamil ada juri dan harus ahli. Matanya tajam memandang langit. Di sana 28 layang meliuk-liuk diterpa angin, dia beserta seorang rekannya harus menentukan siapa sang jawara. 

Tiba-tiba Sebuah layang-layang warna hijau terpisah lebih ke depan. Layang-layang yang satu ini nyaris tegak tali. Terbangnya pun tenang. Juri hampir saja memutuskan layang-layang hijau itu sebagai juara, namun ada peserta lain yang protes. 

Geulayang hijau tidak memenuhi syarat sebagai pemenang. Layang-layang tersebut tidak mencapai ketinggian 800 meter, benangnya terlalu pendek. Tidak ada tanda batas serupa kain hijau yang dipasang panitia di sana. Hal ini diakui pemiliknya. 
Tempoe cok pleh diulang kembali. 

Jamil, kembali menatap ke langit mengamati layang-layang. Lelaki paruh baya itu mencari geulayang yang melesat lebih ke depan. Lalu didapat, sebuah layang bergambar kartu AS joker warna merah muncul condong ke depan. 

Jamil langsung menunjuk Hantan Saga Ikupang, nama layang-layang Milik Nazar dari Desa Meunasah Mayang sebagai juara. Di nomor dua, ada Datok Maringgih milik Samsuddin. Tidak ada yang protes terhadap keputusan Jamil itu.
 

Semua peserta mulai menurunkan layang mereka, hujan mulai jatuh dalam rintik-rintik kecil. Geulayang Tunang akan dibuka kembali esok sore dan selanjutnya, untuk merawat tradisi.

Geulayang Tunang

By Adi Warsidi

Geulayang Tunang adalah sebuah lomba layang-layang yang merupakan permainan tradisional di Aceh. Permainan itu telah lama ada di bumi serambi, sejak masa raja-raja memimpin Aceh abad ke-14. Biasanya dimainkan oleh rakyat biasa dengan dukungan kerajaan.

 Adu layang diselenggarakan pada waktu-waktu besar; sehabis panen raya, peringatan hari besar sampai pada sebuah pesta budaya dan pesta rakyat. Biasanya diadakan di sebuah lapangan atau persawahan. Permainan Geulayang Tunang murah, dan sangat digemari oleh warga pada berbagai daerah Aceh. Ada juga yang menyebutnya Adud Geulayang. Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu, yang bertujuan untuk menghibur. Sebuah tradisi ini tetap dipelihara warga sampai sekarang. Bahkan pemerintah dalam even tertentu, juga memfasilitasi Geulayang Tunang. Misalnya saat perhelatan Diwana Cakradonya di Banda Aceh, April 2008 lalu.  Geulayang Tunang adalah sebuah tradisi, sebuah budaya yang telah ada sejak lama. [] 






Senin, 18 Agustus 2008

Nek Kiah Maknai Kemerdekaan

Otot lengan Ramlan membengkak, tangannya kuat merangkul pohon pinang yang telah dilemuri oli. Di atas bahu pria 25 tahun itu, bertumpu empat orang lain yang membentuk tangga manusia. Bendera merah putih di puncak pohon pinang melambai dihembus angin, karton-karton bertuliskan aneka hadiah juga ikut bergoyang pada lingkaran yang tebuat dari bambu. 

Azan ashar baru saja usai berkumandang dari menara Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Sore itu, Senin 18 Agustus 2008, perhelatan perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 63 digelar dengan ragam permainan di tepi Krueng Aceh.

Panjat pinang menjadi permainan pembuka dalam perayaan kemerdekaan hari itu. Delapan orang asal Lamteh, Ulee Kareng Banda Aceh menjadi kelompok pertama yang akan memanjat pohon pinang yang telah berwarna hitam dilumuri gemuk. Kelompok ini berhasil menggapai puncak dan membawa turun bendera. Keberhasilan itu dihargai Rp750 ribu dari sponsor.

Selanjutnya panjat pinang menjadi tontonan yang sangat meriah, sorak dan tepuk tangan riuh keluar dari ratusan orang yang mengerumuni tepi Krueng Aceh. “Ayo, ayo… Tahan!” Teriak penonton memberi semangat kepada kelompok panjat pinang dari pedagang pasar Aceh. 

Pondasi manusia yang dibangun para pedagang itu goyang dan ambruk. Penonton tertawa saat kelompok tersebut meutumpok (bertindihan) di bawah pohon pinang yang mereka panjat. 

Ramlan hanya menyengir dan mengajak kawannya membuat kembali pondasi, dia berada di bagian paling bawah untuk dipanjat kawan yang lain. Dalam panjat pinang, orang-orang harus mengorbankan tubuh mereka untuk diinjak kawan se tim, kemenangan adalah pencapaian puncak dan memungut hadiah yang disediakan panitia. 

Selain masyarakat kota yang ikut menyaksiakan perhelatan kemerdekaan, puluhan pedagang juga menjajakan dagangan di lokasi itu. Ibu Kiah, penjual jomblang pada sore itu tidak begitu memperhatikan antusias penonton. 

Ibu setengah baya itu duduk lesu, keranjang di depannya masih terisi biji-biji hitam yang tidak banyak berkurang. Sesekali, suara seraknya menawarkan pembeli untuk mendekat. “Hana muphom ulon kemerdekaan nyan/ Tidak mengerti saya arti kemerdekaan itu,” jawab ibu Kiah pendek. Tangan keriputnya kembali memasukkan biji jomblang dalam kaleng susu bekas yang dijadikan sebagai pengukur. 

Juliamin, penjual boneka masih bisa memaknai kemerdekaan, “Kita tidak terjajah lagi oleh Belanda,” kata lelaki itu. Dia mengaku tidak bisa membayangkan jika hingga saat sekarang Belanda masih menjajah Indonesia. 

Lelaki itu punya mimpi untuk bisa berjualan di toko. “Pemerintah agar meningkatkan perekonomian rakyat,” harap Juli. Sementara ibu Kiah tidak mengharap banyak, “Yang penteng jeut tamita raseki haleu ngon teunang/Yang penting bisa mencari rezeki halal dengan tenang.” 

Harapan ibu Kiah sangat sederhana, kemerdekaan bagi ibu tua itu adalah kebebasan berbuat dalam menjalani hidup. Dengan menjadi penjual biji jamblang musiman, dia bisa membantu meringankan suami yang bekerja sebagai pelaut. 

Senja menutup perhelatan itu, sayup-sayup terdengar suara orang membacakan ayat suci Al-Quran. Orang-orang bubar, panitia mengucapkan sampai jumpa tahun depan, pada hari kemerdekaan selanjutnya.

Arif Surahman 4 Aceh Independen