Jumat, 11 April 2008

Berdamai Atau Ke Kantor

Mengintip Aktivitas Razia Polisi

Sepeda motorku melaju pelan di ruas jalan T. S.A Mahmudsyah, Banda Aceh. Rabu pagi itu (09/04), saya baru saja menyelesaikan sarapan pagi di kede Jurnalis Peh Tem, warung kecil yang terletak di depan Kantor Berita Nasional ANTARA.

Di perjalan yang sesak dengan debu itu, sebuah klakson memanggilku, pengendaranya berseragam polisi lengkap dengan helm putih. Dia mengenderai sepeda motor Honda jenis Astrea Grand keluaran tahun 1999. Sambil memberi tabik, dia juga memberi isyarat supaya saya menepikan kenderaan.

“Selamat pagi pak” sapanya. Sekilas tidak ada kesan garang pada polisi yang satu ini, nada bicaranya terkesan dibuat-buat. Pelayan masyarakat mungkin harus bersikap sopan pada masyarakat yang ingin dilayaninya. sementara aku merasa bersalah karena sepeda motorku tidak memasang nomor polisi dibelakangnya. Akhir-akhir ini pihak Kepolisian dari Poltabes Banda Aceh sedang gencar-gencarnya melakukan rasia terhadap kenderaan tanpa dokumen, juga sepeda motor yang tidak memasang nomor polisi.

“Boleh saya lihat surat-surat kenderaan Anda, Pak”. Polisi itu meminta surat-surat motor saya dengan menggunakan panggilan “pak”. Padahal jelas, dari tampang, dia jauh lebih tua dan berwibawa. Saya menyerahkan semua dokumen kenderaan, termasuk SIM, STNK dan dia juga meminta KTP saya.

“kenapa Bapak tidak memasang plat dibelakang, pajak motor Bapak juga mati. Bapak tidak tahu peraturan lalu lintas?”. Polisi itu bertanya dan mengomel, dia mulai menampakkan tampang tidak bersahabat. Saya hanya diam, dalam hal ini apa yang dituduhkannya memang benar. Pajak kenderaan saya baru satu minggu yang lalu mati, sementara plat belakang sengaja tidak saya pasang karena saya tidak suka melihat pantat motor saya ada plat. Tidak gaul.

Saya kemudian dibawanya ke pos tidak jauh dari tempat saya dihentikan. Di ujung jalan S.A Mahmudsyah, di tepi kali krueng daroy itu saya disodorkan satu buku kecil yang berisi tentang peraturan-peraturan lalu lintas lengkap dengan denda dalam bentuk Rupiah yang harus disetor untuk setiap pelanggaran. Ternyata selain saya, ada tiga pengedara lain yang melangar peraturan lalu lintas di pagi itu. Bahkan seorang pengendara sampai menangis meminta pihak polisi tidak menyita sepeda motor miliknya “tolonglah pak, motor saya jangan ditilang”.

Pemuda itu memelas dengan penuh harap. Tapi beberapa polisi lain bahkan menertawakannya. “ah nangis, kenapa tadi kamu begitu congkak saat mengendara?”, ejek salah seorang.

Di sudut lain, seorang lelaki tengah baya sedang memberikan alasan-alasan kepada seorang polisi yang sedang mengintrogasinya. “pajak kenderaan Bapak sudah lima tahun mati, mengapa tidak diurus?” tanya polisi tersebut. Lelaki itu mengaku semua buku kepemilikan terhadap motornya telah hilang bersama rumah beserta anak dan istrinya saat gelombang air laut menyapu perkampungannya akhir tahun 2004 lalu. Ternyata polisi itu tidak mudah percaya, segala hal menyangkut kenderaan milik lelaki tersebut ditanyakan.

Tidak lama kemudian dua gadis remaja juga ikut berada di pos kecil itu. Mereka juga dihentikan karena tidak menggunakan nomor polisi di bagian belakang sepeda motor yang gunakannya. Semantara saya masih ditanyakan polisi menyangkut nomor polisi yang tidak saya pasang dan pajak motor yang dua minggu lalu mulai tidak valid lagi. “Bapak melanggar dua peraturan” jelas polisi tersebut.

Dia mengeluarkan surat tanda tilang dan menyuruh saya untuk menandatanganinya. “ada jalan lain Pak” saya memberanikan diri bertanya, takut kalau pertanyaan saya tersebut menyinggung perasaan polisi tersebut. Diluar dugaan dia menyambutnya dengan bersahabat. “Itu kalau bapak mau, tapi kami tidak minta ya”. Tegasnya.

Polisi tersebut kembali membuka buku kecil warna putih dengan cover lambang kepolisian lalu-lintas. Dia menunjukkan angka sebesar Rp. 250 ribu untuk pelanggaran tidak memilikiSurat Izin Mengemudi (SIM), Rp. 120 ribu bagi yang tidak membayar pajak dan Rp. 150 ribu bagi yang tidak memasang nomor polisi yang lengkap pada kenderaan bermotor.

Saya melongo melihat jumlah denda yang harus saya bayar. Perlahan rasa menyesal juga menghinggapi perasaan ini. “Andai aku membayar pajak tepat pada waktunya” ringisku. Tapi sia-sia, penyesalan akan datang saat kita terjaring razia.

“Bagaimana, saya hanya bisa membantu jika bapak membayar Rp. 250 ribu saja” tawar Polisi tersebut. Seperti pemuda yang menangis tadi, saya juga memohon keringanan. “Tidak boleh kurang lagi, Pak?” pelas saya. “Ini sudah sangat saya bantu” tandas polisi tersebut, dia juga mengatakan kalau saya dibawa ke kantor jumlah uang yang harus saya setor melebihi jumlah yang polisi tersebut tawarkan.
Setelah tawar-menawar sekian waktu, akhirnya polisi tersebut sepakat saya membayar pelanggaran ini dengan jumlah Rp. 100 ribu. Dia menyuruh saya menandatangi perjanjian, lain kali saya harus memasang nomor polisi yang lengkap di sepeda motor saya dan membayar pajak tepat waktu.

Hari itu, banyak pengendara sepeda motor yang tertangkap. Pelanggaran yang banyak dilakukan adalah tidak menggunakan plat nomor polisi yang lengkap, bagian depan dan belakang kenderaan bermotor. Ternyata polisi punya trik tersendiri dalam memergoki palaku pelanggaran lalu-lintas ini. Mereka berkeliling dengan menggunakan sepeda motor pribadi dan menghentikan pengendara yang melanggar. Tidak sedikit pengendara yang melanggar peraturan tersebut lebih memilih jalur damai, dari pada membiarkan sepeda motor mereka ditilang.

Ga usah segan, uang yang Bapak setor untuk negara”. Polisi itu kemudian memberikan kunci sepeda motor saya.