Perlahan musik meloncat surut ke tujuh tahun silam. Nyawoung sebenarnya tembang etnik. Lagu yang liriknya bercerita tentang proses setelah kematian: permohonan jiwa untuk menyatu kembali, izin Tuhan, kondisi jasad setelah 44 hari di liang lahat dan sebuah memori pada zaman buruk saat musik itu diciptakan; Aceh yang berdarah.
Namun para musisi jazz Aceh itu sejenak melupakan kengerian, Nyawoung muncul dalam irama jazz yang mengalun, nada-nada mengalir, repetisi mencairkan kata-kata ngeri disetiap hentakan kaki. Dari tangan Muritza Thaher, musisi sekaligus arranger Aceh itu, instrumen lahir secara akrobatik. Mujibburrizal, anak Indrapuri, Aceh Besar yang kini salah satu vokalis grop nasyid Qatrunnada, Malaysia menyanyikan Nyawoeng dengan lembut, berbeda dari sang empunya sendiri, Muchlis yang meninggal saat gempa dan Tsunami meluluhkan Aceh Desember 2004 silam.
Jazz adalah mengalun, swing. Namun jazz bisa berarti apa saja. Dari Khanduri Jazz II di Gedung ACC Sultan Selim II, Banda Aceh, Jumat Malam 19 Juli 2008 lalu, Jazz juga tampil dalam suasana barok. Tembang-tembang seperti Boogoie Down yang dibawakan Goya Kala, Esokkan Masih Ada oleh Didy dan Aku Malu oleh Peut Voice mampu menghentakkan pengunjung. Mereka yang manyoritas kaum muda ikut berjoget dan bernyanyi. Jazz di Aceh juga digandrungi kaum Muda.
Tembang yang ditampilkan adalah lagu nomor standar dari lagu-lagu jazz populer yang diarangemen ulang Moritza. Khanduri Jazz diisi berturut-turut oleh Maestro Band, Moritza Taher Combo, Kelompok Taloe, duo gitaris Nadi & Denny Syukur, serta demo jazz instrumental oleh para musisi muda sekolah musik Moritza.
Yuni Sarmiati, gadis usia 22 tahun asal Banda Aceh diperkenalkan sebagai gitaris jazz perempuan pertama Aceh. Mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala itu baru lima bulan bergabung di Sekolah Musik Muritza. “Ini aksi panggung saya yang pertama, saya mengenal jazz lebih banyak di sekolah Muritza.” Kata Yuni. Dara imut itu terlihat anggun dengan gitar warna pink saat menampilkan water melonman dan Blue Bossa. Selain Yuni, ada Erlinda di piano.
Khanduri Jazz II Jumat malam itu mampu menarik perhatian kalangan muda dan warga asing. Margaret Kartomi, Seorang profesor dari fakultas musik Monash University, Australia mengaku sangat menikmati musik Jazz yang ditampilkan Komunitas Maestro Aceh itu. “Ini Jazz Aceh,” sebut Kartomi.
Dan Jazz adalah kebebasan. Bagi Moritza Jazz juga improvisasi jiwa. Komponis telah menyediakan kerangka, namun setiap musisi bisa memainkan instrumen secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Lompatan-lompatan tak terduka, lingkaran-lingkaran kecil dan nada yang berjungkir balik. Dengan peralatan piano, keyboard, qitar, bass yang dimiliki kelompok Maestro Aceh pada malam itu, Semua bergerak sendiri tanpa saling merusak. Dan itulah Jazz Aceh, Teungku !