Kamis, 07 Agustus 2008
Tunang Tergerus Zaman
Bruang Tapa tak ganas sore itu, perintah pawang tak digubris. “Heaaaa, bek rugoe nan hai meutuah! (Heaaaa, jangan hanya besar nama hai sayang!),” bentak sang pawang sembari menarik tali yang dicocok pada hidungnya.
Raja Itam, rival dalam pertandingan peupok leumo (adu lembu) juga menunjukkan sikap sama. Tak mengubris tuannya.
Minggu sore, 1 Juni 2008. Lapangan bola Liempok, Aceh Besar dipenuhi penonton. Mereka berteriak menyemangati kedua petarung, ledekan pun tak sedikit. “karugoe tiket sang nyoe (rugi tiket nonton sepertinya),” teriak penonton.
Dalam pertarungan 10 menit itu, harus ada yang jadi pecundang supaya sang juara bisa kembali berlaga minggu depan. Kedua pawang mengeluarkan segala jurus untuk memancing emosi lembu. Meniup telapak tangan sendiri hingga berbunyi seperti siulan.
Tanduk dua lembu tunang itu didekatkan kembali. Upaya ini membuahkan hasil. Bruang Tapa mulai menanduk Raja Hitam. Heaaaaa..., pertarungan dimulai pada menit ke tiga. Sorak penonton riuh membahana saat dua lembu itu saling adu tanduk.
Lembu itu sepertinya tahu apa yang diinginkan pendukungnya. Semangat mengalir dalam tubuh kekar bertanduk, debu-debu mengepul membuat kabut saat mereka berlaga. Sorakan makin riuh.
Peupok leumo adalah permainan tradisional khas Aceh Besar. Tempo dulu, permainan ini berkembang di kalangan peternak lembu. Mereka menggelar peupok leumo untuk sebuah pengakuan, bahwa peternakan merekalah yang punya lembu berkualitas wahid. Biasanya tunang diprakarsai oleh pemilik lembu antar lokasi, kampung atau mukim.
Tunang tak sekadar huru-hara, punya tujuan di baliknya. Adu lembu diyakini akan menjadikan sapi lebih agresif dan sehat, bahasa Aceh-nya disebut pleh bren leumo. Maklum, para peternak umumnya hanya mengandangkan sapi mereka dan hanya diberi makan rumput yang telah disiapkan. Seiring waktu, adu lembu menjadi hiburan bagi warga. Biasanya digelar pada hari-hari besar dan selepas panen raya.
Di Liempok, tradisi lama itu diprakarsai sebuah pantia yang dibentuk khusus. Tujuannya sama, pleh bren leumo untuk hajatan mencari lembu pemenang. Di beberapa lokasi lain, tradisi itu pernah subur, tapi belakangan dilarang warga. Menjadi arena perjudian jadi alasan. Entahlah... ini hanya cerita tentang tradisi.
Peupok leumo diadakan setiap Minggu sore pukul 16.00 Wib, atau selepas shalat ashar. Menyaksikan hiburan lama, penonton diwajibkan membawar tiket sebesar Rp15 ribu.
Uang ini dikutip panitia sebagai biaya menyewa lembu tarung. “Uang itu untuk memberi biaya perawatan lembu pada pemiliknya, biasanya kami menyewa setiap lembu seharga Rp300 ribu hingga Rp1 juta,” kata Yah Nuh, panitia peupok leumo di Liempok.
Biaya tak sama untuk semua lembu, yang tangkas dibayar lebih mahal. Lembu yang diadu dalam tunang adalah lembu pilihan. Semua punya nama yang ditoreh pawangnya. Bruang Tapa dan Raja Hitam misalnya, seperti lembu yang bertarung sore itu.
Seorang peternak asal Ulee Kareng, Banda Aceh, Yah Usman menyebut Bruang Tapa dan Raja Hitam adalah pemain baru. “Itu lembu-lembu baru, biasanya diadu saat pembukaan,” katanya.
Tunang punya aturan ketat. Menjaga lembu tak cedera, waktu tarung hanya dilakukan 10 menit. Dalam periode itu, kalau ada lembu yang menghindar alias lari, dialah pencundang. Jika keduanya bertahan, maka pertandingan dihentikan; seri. Tarung ke depan, mereka tak bisa berduel lagi. “Mungkin mereka tak bisa bertarung berdua, hana pah lawan,” ujar Yah Usman.
Pemilik lembu yang memenangkan pertandingan akan mendapat keuntungan lain. Jika jagoan mereka sering memenangkan pertarungan, maka harga tawar akan kian meningkat. Harga tawar satu lembu tarung tangguh berkisar Rp20 juta hingga Rp30 juta.
Selain Bruang Tapa dan Raja Hitam, juga adalah Bren. Mengadopsi nama senjata serbu made in Cina, Bren adalah lembu yang paling disegani saat ini, minimal di Aceh Besar. Selain Bren, ada L-300 yang punya kemampuan sama.
Bagi warga yang hobby tunang lembu, nama-nama lembu petarung sudah terafal di luar kepala, melegenda. Setiap lembu baru yang bertarung atau punya fisik yang sama dengan legenda mereka, maka langsung dikaitkan. Ditabalkan seperti kenangan mereka. “Pada tahun 1992 ada Planet Bulen yang tak terkalahkan,” cerita Dadek, peminat tarung lembu.
Peupok leumo tunang adalah hiburan, ajang promosi dan tak jarang menjadi ajang taruhan bagi warga. Terlepas plus-minus, peupok leumo adalah tradisi yang kian jarang. Aturan-aturan entah kesadaran telah membuat budaya itu langka. Tunang yang tergerus zaman. [arif surahman]
Dimuat di Harian Aceh Independen